APA ITU DHUNGKREK..... ?????????
Tetapi
almarhum Raden Bei Lo Prawirodipuro mendapat prioritas memangku jabatan
tersebut. Hal ini diduga karena atas kepribadian kepemimpinan, kewibawaan dan
sebaginya yang dimiliki Raden Bei Lo Prawirodipuro yang sangat menonjol
sehingga pihak yang berwajib mengambil kebijaksanaan melangsungkan jabatan
Palang khusus bagi beliau saja.
SYNOPSIS
"Kesenian Dhungrek Khas Madiun" |
Nama dhungkrek diambil dari bunyi 2
(dua) buah instrumennya yaitu bedug dan korek. Bila dibunyikan bunyi bedug
terdengar dhung dan bunyi korek terdengar krek, sehingga kalau dibunyikan
bergiliran dan terus-menerus terdengar bunyi dhung-krek-dhung-krek. Dari
sinilah timbul nama dhungkrek yang kemudian menjadi nama dari kesenian rakyat
ini. Perlu diketahui bahwa susunan (bezetting) instrument Dhungkrek terdiri
dari beberapa jenis instrument diantaranya ialah bedug dan korek.
Bedug dan korek rupanya merupakan
instrumen yang hakiki dan dominan. Hakiki berarti mutlak harus ada sedang
dominan berarti mempunyai kedudukan yang sangat penting dan menonjol dalam
permainan bersama.
Dan kedua macam instrument itulah yang
memberikan corak dan ciri khas serta hakiki seni dhungkrek. Terutama adalah
instrument korek yang bersifat unik dan tersendiri yang tidak kita dapati pada
instrument kesenian lain yang manapun.
Hasil penelitian selama ini menguatkan
bahwa Dhungkrek diciptakan oleh almarhum R. Bei Lo Prawirodipuro yang pada masa
itu menjabat Palang di Mejayan (Caruban). Palang adalah suatu jabatan yang
membawahi 4-5 Kepala Desa. Palang sebagai “Lurah Kepala” (Hoofd Lurah)
bertanggung jawab langsung kepada Wedana sebagai atasannya. Raden Bei Lo
Prawirodipuro adalah Palang terakhir dalam sistem pemerintahan pada waktu itu
sampai wafatnya ± tahun 1915/1916. Sebetulnya jabatan Palang tersebut sudah
lama dihapuskan sebelum itu.
Diperkirakan dhungkrek lahir sekitar
tahun 1910. Beberapa sumber menjelaskan bahwa sejak timbulnya seni Dhungkrek
hasil karya almarhum R. Bei Lo Prawirodipuro tersebut kesenian lain di daerah
Caruban terdesak mundur. Dhungkrek hidup dan berkembang sangat pesat dan subur
sehingga menjadi kesenian yang paling “top” pada masa itu. Tetapi masa kejayaan
seni Dhungkrek ini tidak berlangsung lama. Semakin hari makin surut dan mundur.
Lama kelamaan kesenian ini makin tenggelam bahkan namanya saja sudah banyak
yang tidak kenal terlebih pula bagi orang diluar Caruban.
Singkatnya kesenian ini sudah berada
di ambang pintu kepunahan.Sebab-sebabnya
belum jelas. Mungkin karena meninggalnya sang pencipta yang memang semasa
hidupnya terkenal sebagai orang sakti dan mempunyai kewibawaan yang besar. Jadi
surutnya Dhungkrek karena ditinggalkan oleh pencipta dan mungkin sekaligus
sebagai satu-satunya pembina yang tangguh, ampuh dan berwibawa. Atau mungkin juga
dari sebab sifat Dhungkrek yang statis sehingga menimbulkan jemu yang berakibat
masuknya kesenian lain teutama kesenian dari Jawa Tengah yang sampai saat ini
mendapat tempat yang subur di hati rakyat Caruban khususnya dan rakyat Madiun
umumnya.
Berbicara kesenian dhungkrek kita
tidak dapat melupakan Sdr. R. Soemardji yang bertempat tinggal di desa
Banyukambang Kecamatan Mejayan Kabupaten Madiun. Sebab ia adalah satu-satunya
keturunan almarhum R. Bei Lo Prawirodipuro yang mewarisi peralatan Dhungkrek yang
masih asli sejak seni Dhungkrek diciptakan.
Dan dari sinilah sedikit banyak kita
dapat memperoleh informasi dan data-data seni Dhungkrek. Beberapa peralatan
khususnya mengenai instrument bedug, kecer, gong beri yang sekarang ada pada
Sdr. Soemardji sudah diganti.
Bahkan
gong beri yang memang agak sulit mencarai gantinya sekarang diganti dengan
kelongsong peluru yang berukuran besar.
a. Instrument
Dhungkrek
Susunan (bezetting) instrument
dhungkrek terdiri dari:
1.
1
(satu) buah Bedug
2.
1
(satu) buah Kempul
3.
1
(satu) buah Kenong
4.
1
(satu) buah Kecer
5.
1
(satu) buah Gong Beri
6.
2
(dua) buah Korek
7.
2
(dua) buah Kentongan Bambu
b. Topeng Dhungkrek Terdiri dari:
1.
2
(dua) buah Topeng Raksasa/Hantu
2.
2
(dua) – 3 (tiga) buah Topeng Wanita
3.
1
(satu) buah Topeng Orang Tua
Topeng-topeng tersebut berukuran besar
dan bila dipakai menutup seluruh muka dan kepala. Topeng wanita sebuah
diantaranya berwajah jelek dan bermulut penceng.
c.
Perlengkapan
Tari (Property)Terdiri dari:
1.
2
(dua) buah keris (dari kayu)
2.
2
(dua) buah pedang (dari kayu)
3.
1
(satu) buah tongkat (dari kayu)
Tersebut pada No. 1 dan 2 digunakan
untuk penari raksasa, sedang No. 3 untuk penari orang tua. Tongkat tersebut
berbengkok (Jawa: Luk) 11 (sebelas), dibuat dari kayu minging (wangi) dan
disebut “Teken Panjer Wengi)”. Dalam proses perkembangannya property keris dan
pedang ditinggalkan (penari raksasa tidak lagi menggunakan peralatan ini).
Keris tersebut diberi nama Kyai Jalak Sangu Tumpeng.
d.
Pakaian
tari (Kostum)
1.
Penari
Raksasa/Hantu menggunakan celana hitam bergaris/strip merah.
2.
Penari
Wanita menggunakan Rok (Yurik).
3.
Penari
Orang Tua memakai Baju Surjan.
e.
Tehnis
Permainan Instrument
1.
Bersifat
ritmis (tidak ada melodi)
2.
Buka
(Voorspel) diawali dengan bunyi kentongan bambu langsung permainan bersama
3.
Irama
pada prinsipnya tetap
4.
Tidak
ada dinamika, tidak ada variasi mulai awal sampai akhir
f.
Bentuk
Tari Dhungkrek
Pada prinsipnya tari dhungkrek hanya
berupa gerakan sesuka hati dari pelaku-pelakunya sesuai dengan peranannya
masing-masing. Gerakan-gerakan itu merupakan gerakan bebas yang dengan
sendirinya dipadukan dengan alunan iramanya. Jadi tidak ada norma tertentu.
DHUNGKREK
SETELAH DIGARAP
Sebelum mengutarakan
Dhungkrek setelah diolah patut bila kita ketahui bahwa seni Dhungkrek yang
telah hampir punah itu sejak tahun 1976 telah mendapat perhatian dari Kan Wil
Dep P dan K Prop. Jawa Timur Bidang Kesenian. Dan sejak saat itu para ahli dari
Bidang Kesenian antara lain Bp. Moedjiono, BA; Bp. Soedjono, BA; Bp. Lewung
Soemarno, bekerja sama dengan Seksi Kebudayaan Kan Dep P dan K kabupaten Madiun
mulai mengadakan survey dengan obyek utama ialah Banyukambang Kecamatan Mejayan
yaitu di rumah Sdr. Sumardji satu-satunya pewaris seni Dhungkrek dan
peralatannya yang sampai saat ini masih dapat kita saksikan.
Sementara itu dengan
kemampuan yang ada, Kepala Seksi Kebudayaan Kan Dep P dan K Kabupaten Madiun
9S. Soewondho) disamping melanjutkan kegiatan penelitian juga mencoba untuk
mengolah seni Dhungkrek ini dengan maksud agar seni Dhungkrek dapat hidup kembali
di tengah-tengah masyarakat serta dapat menjadi kesenian yang digemari terutama
bagi generasi muda dan pelajar.
Setelah melalui beberapa
percobaan, maka sebagai pengolahan yang dapat kita sebut berhasil ialah
pengolahan yang diadakan menjelang diadakannya Festival Tari Rakyat se Jawa
Timur tanggal 4-5 Juli 1980 di Surabaya.
Dalam Festival ini hungkrek berhasil
terpilih sebagai salah satu dari pemilihan sepuluh terbaik (The Best Ten)
menduduki ranking 3 (tiga). Dalam hal ini kami ucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada Ibu Sumiyati tokoh tari dari staf Bidang Kesenian Kan
Wil Dep P dan K Propinsi Jawa Timur yang telah memberikan sumbangan moril
berupa petunjuk yang sangat berharga dalam proses pengolahan seni Dhungkrek
tersebut.
Demikianlah hal-hal yang
patut kami kemukakan sebelum mengutarakan Dhungkrek sesudah diolah. Dan marilah
sekarang kita menuju ke dhungkrek yang telah diolah.
Pengolahan Dhungkrek mencakup
unsur-unsur:
1.
Instrument,
dalam hal ini berupa penambahan instrument kendang yang sebelumnya tidak ada.
Penambahan instrument kendang ini dimaksudkan sebagai suatu instrument yang
dapat memberikan kemungkinan dalam mengolah irama, dinamika dan variasi yang
menambah keindahan artistik, sekaligus juga mengiringi dan mengatur serta mengendalikan
gerak tarinya.
Jadi secara singkat fungsi
kendang disini:
a.
Mengatur/mengendalikan
dan mengiringi gerak tarian
b.
Memperindah
tabuhan
c.
Menghentikan
tabuhan
d.
Mengatur
irama tabuhan
e.
Mengatur
variasi
f.
Menjadi
pimpinan tertinggi
PERKEMBANGAN SENI DHUNGKREK SETELAH DIOLAH
PERKEMBANGAN SENI DHUNGKREK SETELAH DIOLAH
Seni Dhungkrek yang telah hampir punah dan
hanya bernafas satu dua ditempat kelahirannya yaitu Caruban, dengan adanya
usaha pengembangan dari Kantor Dep P dan K Kabupaten Madiun maka sejak tahun
1977 Dhungkrek telah muncul lagi di tengah-tengah masyarakat. Di sana-sini
mulai tumbuh perkumpulan Dhungkrek. Perkumpulan-perkumpulan tersebut belum
terarah dan belum dapat disebut sebagai perkumpulan atau organisasi yang tetap.
Kegiatan pementasannya juga sangat terbatas. Salah satu sebab yang sangat utama
ialah hambatan dalam pengadaan sarana/peralatan Dhungkrek yang dengan
sendirinya tidak dapat terlepas dari masalah biaya. Satu masalah yang sulit
dipecahkan.
Sejak awal tahun 1980 seni
Dhungkrek mendapat perhatian secara khusus dari Seksi Kebudayaan Kantor Dep P
dan K Kabupaten Madiun. Sementara itu dukungan dan partisipasi masyarakat yang
mendambakan kelestarian dan perkembangan seni Dhungkrek semakin kuat. Dari
kalangan pelajar dan generasi muda dengan sepenuh hati aktif melihatkan diri
dalam proses penggarapan seni Dhungkrek. Setelah Dhungkrek diolah, baik sebelum
maupun sesudah berhasil dalam mengikuti Festival Tari Rakyat se Jawa Timur,
dalam usaha pementasan di beberapa tempat selalu mendapat sambutan yang
memuaskan dari masyarakat untuk mempelajari Seni Dhungkrek berdatangan.
Selanjutnya pada era
reformasi, Dhungkrek dikembangkan lagi melalui program pada Sub Dinas
Kebudayaan yang sekarang berubah menjadi Bidang Kebudayaan sebagai program
unggulan setiap Cabang Dinas/UPT TK SD, SMP, SMA, SMK harus mempunyai 1 (satu)
group Dhungkrek. Program ini ditunjang pemberian bantuan peralatan Dhungkrek di
sekolah-sekolah mulai SD sampai SMA/K serta peningkatan kualitas Dhungkrek
melalui Festival Dhungkrek Pelajar dan pengiriman group Dhungkrek pada misi
kesenian daerah Kabupaten Madiun di tingkat Regional maupun Nasional untuk
peningkatan kualitas pembina seni Dhungkrek telah terlaksana pelatihan guru kesenian.
Perlu diketahui
perkembangan Dhungkrek secara kualitatif melalui festival-festival Dhungkrek
dan pelatihan bagi pembina seni di sekolah dan masyarakat. Pengiriman misi-misi
kesenian daerah pada Festival Budaya Adhikara Jawa Timur, Festival Berantas dan
Gelar Budaya Nusantara di depan Istana Negara serta di Anjungan Jawa Timur
Taman Mini Indonesia Indah Jakarta.
Perkembangan kesenian
Dhungkrek selain kualitas tentu kuantitas seperti pembentukan group kesenian
baik di sekolah maupun di masyarakat serta seminar.
2 (dua) perkembangan dhungkrek yang
ada:
1. Secara
Ritual
Dhungkrek
pada acara tolak balak di desa Mejayan dengan arak-arakan Dhungkrek dan upacara
penyerahan topeng Dhungkrek. Setiap bulan Sura tanggal 10 setiap tahun yang
pimpin oleh Bapak Dul Rokhim (Ketua Paguyuban Dhungkrek Kabupaten Madiun).
2.
Secara
Hiburan
Dhungkrek
sebagai seni penyambutan, peresmian melalui arak-arakan dan pentas tari
dhungkrek.
Untuk memperkuat eksistansi seni
Dhungkrek dengan pengusulan Dhungkrek sebagai hak paten/cipta Kabupaten Madiun
(seni khas Kabupaten Madiun serta penetapan Perda Dhungkrek Kesenian Khas
Kabupaten Madiun)
SYNOPSIS
a.
4
(empat) orang penari hantu/raksasa dilukiskan sebagai peraga yang membawa dan
menyebarkan penyakit yang akan merusak dan mendatangkan kesengsaraan bagi
masyarakat.
b.
2
(dua) orang penari wanita sebagai lambang kesucian dan kebaikan yang akan
membasmi sifat jahat dari hantu tersebut.
Antara hantu sebagai lambang kejahatan berselisih dengan wanita sebagai
lambang kebenaran.
c.
Seorang
penari orang tua sebagai lambang kedewasaan manusia yang selalu mengabdi kepada
kebaikan dan kebenaran. Ia memiliki kesaktian
yang dalam hal ini dimanifestasikan dengan alat berupa tongkat.
Dengan pertolongan orang tua inilah
maka kedua wanita tersebut dapat terlepas dari kungkungan raksasa/hantu dapat
ditaklukkan oleh orang tua sebagai pembela kebenaran, kebaikan dan keadilan.
Kesimpulan:
Maksud jahat akhirnya akan lebur oleh
kebaikan dan kebenaran sesuai dengan sesanti/motto “Sura dira jayaningrat,
brasta tekap darmastuti”.